Senin, 24 September 2018

#4 TEORI KONTRAK DAN TINDAKAN KOLEKTIF




TEORI KONTRAK DAN INFORMASI ASIMETRIS
Dalam pendekatan ekonomi biaya transaksi, basis dari unit analisis adalah kontrak atau transaksi tunggal antara dua pihak yang melakukan hubungan ekonomi. Kontrak secara umum menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, tentunya dengan konsekuensi adanya tindakan balasan atau pembayaran. Ekonomi biaya transaksi mengasumsikan bahwa kontrak dapat ditegakkan/dipaksakan dalam koridor lembaga hukum yang eksis dan ketersediaan informasi yang cukup (Dixit, 1996).
Dalam kenyataannya, kontrak selalu tidak lengkap karena dua alasan (Klein, 1980), yaitu:
·         Adanya ketidakpastian menyebabkan terbukanya peluang yang cukup besar bagi munculnya contingencies, sehingga berimplikasi pada munculnya biaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi dalam merespons seluruh kemungkinan ketidakpastian.
·         Adanya kinerja kontrak khusus, misalnya menentukan jumlah energi yang dibutuhkan pekerja untuk melakukan pekerjaan yang rumit, membutuhkan biaya yang banyak untuk melakukan pengukuran.
Munculnya faktor ketidakpastian disebabkan adanya informasi asimetris dalam kegiatan ekonomi. Secara teknis, informasi asimetris merupakan kondisi dimana ketidaksetaraan informasi atau pengetahuan yang dialami oleh pelaku-pelaku untuk melakukan transaksi di pasar. Dengan begitu, kontrak merupakan instrumen kompensasi untuk mengeliminasi dampak dari informasi asimetris.

MEKANISME PENEGAKAN DAN INSTRUMEN EKSTRALEGAL
Ada empat faktor perbedaan jenis kontrak (Menard, 2000), yaitu:
·         Jangka waktu dari kontrak, jangka waktu menggambarkan komitmen dari para mitra.
·         Derajat kelengkapan, yang mencakup variabel-variabel harga, kualitas, aturan keterlambatan, dan penalti.
·         Insentif, yang dibagi menjadi lima jenis mekanisme insentif antara lain:
Sistem tingkat tetap, upah berdasarkan jam kerja, distribusi bagian kepada pekerja, pengembalian aset yang dibayarkan kepada pemilik, dan sewa yang dibagi diantara mitra yang bergabung dalam proyek.
·         Prosedur penegakan yang berlaku, kontrak berhubungan dengan mitra untuk tujuan yang saling menguntungkan, tetapi juga menyimpan risiko kerugian melalui sikap oportunis.
Berkaitan dengan aspek penegakan, dalam masyarakat yang kelembagaan penegakannya tidak berjalan dengan baik individu-individu dan perusahaan-perusahaan cenderung menghindari membuat kesepakatan-kesepakatan yang kompleks, yakni transaksi yang penegakannya tidak secara otomatis (Clague, 1997).
Terdapat dua tipe penegakan yaitu formal dan informal yang dijabarkan sebagai berikut:
·         Aturan-aturan formal dibuat dan dipaksakan oleh organisasi resmi, seperti negara dan perusahaan untuk menyelesaikan masalah tindakan kolektif melalui pihak ketiga.
·         Aturan informal muncul akibat adanya jaringan kerja dan dipaksakan melalui hubungan sosial.
Poin terpenting dari tipologi pembagian dengan pelaku lainnya adalah bermufakat dalam persoalan penegakan. Kontrak berhubungan antara satu pelaku dan mitra lainnya karena adanya asas saling menguntungkan, tetapi pada saat yang sama kontrak juga beresiko melalui praktek oportunisme. Hasilnya terdapat godaan bagi satu atau lebih pelaku untuk bersikap menyimpang (Crawford, 1978).
Isu yang utama adalah mencari kesepakatan yang optimal, yakni kontrak didesain sehingga pelaku memiliki insentif yang memadai untuk mematuhi atas kontrak yang sudah dimufakati.
Dalam realistasnya, mekanisme penegakan tidak selalu mudah sehingga dibutuhkan suatu instrumen tambahan semacam jaminan ekstralegal, seperti penyanderaan, agunan, strategi balas dendam, reputasi, dan lain sebagainya. Setiap pembuat desain kelembagaan harus memerhaikan situasi aturan main yang tidak lengkap tersebut agar perilaku-perilaku menyimpang bisa dicegah.

TEORI TINDAKAN KOLEKTIF DAN FREE-RIDERS
Teori tindakan kolektif pertama kali diformulasikan oleh Mancur Olson (1971). Teori ini sangat berguna untuk mengatasi masalah penunggang bebas (free-rider) dan mendesain jalan keluar bersama bagi pengelolaan sumber daya bersama atau penyediaan barang-barang publik.
Menurut Olson, terdapat tiga determinan penting bagi keberhasilan tindakan bersama yaitu ukuran, homogenitas, dan tujuan kelompok yang dijabarkan sebagai berikut:
·         Semakin besar ukuran suatu kelompok kepentingan, makin sulit untuk menegosiasikan kepentingan diantara anggota kelompok dengan kata lain kelompok berukuran kecil dimungkinkan bekerja lebih efektif.
·         Semakin beragam kepentingan anggota kelompok maka kian rumit memformulasikan kesepakatan bersama karena masing-masing anggota membawa kepentingannya sendiri-sendiri.
·         Tujuan kelompok harus dibuat secara fokus dengan mempertimbangkan kepentingan semua anggota.
Dari beberapa tindakan kolektif yang dilakukan, terdapat beberapa situasi yang membutuhkan tindakan kolektif agar dapat menyelesaikan persoalan (Heckathorn, 1993) antara lain:
·         Sistem untuk mengelola sumber daya bersama seperti perikanan, sumber daya air yang dikelola melalui sistem irigasi, atau padang rumput.
·         Sistem untuk mengontrol perilaku, misalnya norma-norma sosial melarang eksploitasi atau perilaku merusak.
·         Perubahan-perubahan sosial semacam revolusi atau perubahan perlahan dalam kebijakan publik.
Ketiga situasi tersebut mempersyaratkan adanya tindakan kolektif agar kegiatan pemanfaatan sumber daya dilakukan secara efektif dan efisien.
Dari deskripsi diatas, dapat ditarik tiga karakteristik yaitu:
·         Barang atau jasa yang diproduksi bersama, jika tidak maka tindakan kolektif tidak dibutuhkan.
·         Produksi memberikan laba kepada semua anggota kelompok, sehingga tidak mungkin mengeluarkan anggota yang gagal berkontribusi dalam aktivitas produksi.
·         Produksi dalam barang-barang publik menyertakan biaya.
Ketika ketiga kondisi terjadi, maka anggota kelompok pasti akan bertemu dengan problem penunggang bebas (free-rider), yaitu mereka yang tidak memeroleh beban/biaya dari tindakan kolektif tapi masih menerima benefitnya.

PILIHAN RASIONAL DAN TINDAKAN KOMUNIKATIF
Terdapat dua pendekatan dalam teori pilihan rasional (Miller, 1992) yang dijabarkan sebagai berikut:
·         Pendekatan kuat melihat rintangan sosial dan kelembagaan sebagai produk dari tindakan rasional dan tindakan rasional dan tindakan rasional itu sendiri menjadi sebab munculnya analisis pilihan rasional. Dalam pendekatan kuat terdapat tiga solusi internal yaitu: perlunya solusi internal yang kuat terhadap problem penunggang bebas, mengabaikan pentingnya isu-isu politik dalam memotivasi orang-orang untuk berpartisipasi, dan memunculkan kerjasama kondisional yang saling menguntungkan.
·         Pendekatan lemah menempatkan halangan sosial dan kelembagaan sebagai suatu kerangka yang pasti ada karena aktor-aktor rasional berupaya memaksimalisasikan keuntungan atau meminimalisasikan biaya. Dalam pendekatan lemah terdapat dua solusi eksternal yaitu: otoritas sentral menyediakan insentif selektif yang memberi penghargaan kepada mereka yang berpartisipasi dalam tindakan kolektif dan/atau menghukum mereka yang menolak bergabung dalam tindakan kolektif tersebut dan solusi eksternal yang menekankan kepada desentralisasi komunitas ketimbang otoritas sentral.

Terdapat enam strategi yang ditawarkan yang tertuang dalam tabel berikut ini:

Tabel Enam Strategi Fungsi Pilihan Kontribusi dan Pilihan Pengawasan
Pilihan Kontribusi Terhadap Barang Publik (Level Pertama)
Pilihan Pengawasan Interpersonal (Level Kedua)
Pengawasan Lunak (Kerjasama)
Tanpa Pengawasan (Kegagalan)
Pengawasan Oposisional
Kontribusi (Kerja Sama)
Kerjasama Penuh
Kerjasama Privat
Oposisi Lunak
Tidak Kontribusi (Kegagalan)
Kerjasama Hipokritikal
Kegagalan Penuh
Oposisi Penuh

Penjabaran:
·         Kerjasama penuh termasuk kontribusi terhadap produksi barang-barang publik dan memberikan penalti terhadap pihak yang tidak melakukan kontribusi. Individu yang memilih strategi ini akan memaksimalisasi kontribusi individual dan kolektif terhadap produksi barang-barang publik.
·         Kerjasama hipokritikal terjadi ketika pelaku penunggang bebas, yakni yang gagal berkontribusi terhadap barang publik, berupaya mendesak pihak lain untuk berkontribusi.
·         Kerjasama privat berkontribusi terhadap barang publik tetapi tidak berusaha mencegah pihak lain menjadi penunggang bebas.
·         Kegagalan penuh menolak berkontribusi dan mengizinkan pihak yang lain bertindak seperti yang mereka lakukan.
·         Oposisi lunak berkontribusi terhadap barang publik namun dengan membela hak pihak lain untuk menolak berkontribusi.
·         Oposisi penuh menolak untuk berkontribusi dan melawan norma yang memaksakan pelaksanaan/aturan.

Selain itu, konfigurasi tindakan kolektif dapat diformulasikan menurut habermas sebagai berikut:

Tipe-tipe Tindakan Berdasarkan Konsep Habermas (1984)
Orientasi Tindakan Situasi Tindakan
Orientasi Keberhasilan (System)
Orientasi Pencapaian Pemahaman (Lifeworld)
Non-sosial
Tindakan Instrumental
-
Sosial
Tindakan Strategis
Tindakan Komunikatif

Penjabaran:
·         Tindakan strategis apabila mengikuti aturan-aturan pilihan rasional dan bertujuan memengaruhi keputusan pihak lain yang rasional.
·         Tindakan instrumental terjadi ketika aksi itu mengikuti aturan-aturan teknis dan campur tangan dalam lingkungan dan peristiwa-peristiwa material.
·         Tindakan komunikatif ditekankan kepada interaksi diantara dua pihak atau lebih untuk mencari kesepahaman mengenai situasi bersama.
Secara garis besar, tindakan kolektif diasumsikan bersumber dari dua pendekatan. Pertama, keuntungan dari bekerja dalam suatu kelompok akan menggiring ke dalam situasi yang tidak terhindarkan untuk menciptakan kelompok-kelompok. Kedua, perilaku maksimalisasi individu dalam jangka pendek akan menuntun individu melakukan kerjasama atau tindakan kolektif.

Selasa, 18 September 2018

#3 Pameran DJPb


Kementrian Keuangan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Perbendaharaan

 See the source image
Direktorat Jenderal Perbendaharaan merupakan instansi dibawah Kementrian Keuangan yang bertugas untuk mengelola segala urusan perbendaharaan negara dengan slogannya yaitu “Mengawal APBN, Membangun Negeri” dan memiliki visi menjadi pengelola perbendaharaan negara yang unggul di tingkat dunia.
Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau biasa disingkat DJPb, memiliki kantor vertikal yang biasa disebut Kantor Wilayah Perbendaharaan di 34 propinsi di Indonesia. Selain di setiap propinsi, DJPb juga memiliki unit kecil di setiap kota untuk mempermudah akses layanan yang biasa disebut dengan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara atau biasa disingkat KPPN.
Semakin berkembangnya jaman, untuk mempermudah pelayanan perbendaharaan, DJPb memiliki aplikasi yang bernama SPAN dan SAKTI. SPAN merupakan singkatan dari Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara sedangkan SAKTI merupakan singkatan dari Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi. Keduanya dibuat untuk mempermudah dan meningkatkan performa pencatatan segala bentuk transaksi yang terjadi untuk kemudian dilaporkan secara berkala.
SPAN merupakan program transformasi berskala besar dibidang keuangan negara yang bertujuan meningkatkan efisiensi, efektivitas, akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan anggaran dan perbendaharaan negara melalui penyempurnaan proses bisnis dan pemanfaatan teknologi informasi yang terintegrasi. Keunggulan dari adanya SPAN ini antara lain:
a.    Database Terintegrasi;
b.    Otomatisasi Proses Bisnis;
c.    Lisensi untuk Pengguna;
d.    Jejak Audit (Audit Trail);
e.    User Defined Report;
f.     Akuntansi Akrual.
SAKTI merupakan aplikasi keuangan yang digunakan pada tingkat satuan kerja (satker). Aplikasi ini diciptakan sesuai amanat undang-undang, untuk mewujudkan sistem perbendaharaan yang handal dan akuntabel. SAKTI dapat melaksanakan seluruh fungsi utama penganggaran mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga proses pertanggungjawaban.
Salah satu program unggulan yang dilaksanakan adalah Pembiayaan Ultra Mikro (Umi) yaitu penyediaan dana yang dilakukan melalui kerjasama pendanaan antara pemerintah, pemerintah daerah, dan pihak lain untuk memperkuat permodalan usaha mikro yang tidak dapat mengakses KUR perbankan. Tujuan dari adanya program ini adalah menyediakan akses pembiayaan yang mudah dan cepat, menambah jumlah UMK yang menerima fasilitas pemerintah, dan meningkatkan nilai keekonomian debitur.
Latar belakang dari adanya program ini antara lain:
a.    Mendorong Pertumbuhan UMKM;
b.    Pemertaan Pembangunan;
c.    Pengentasan Kemiskinan;
d.    Optimalisasi Potensi UMKM;
e.    Inklusi Keuangan.
Contoh program pemerintah yang diatur pengelolaannya oleh DJPb adalah mekanisme pembayarn gaji pegawai negeri sipil dan mekanisme penyaluran dana desa. Dana desa merupakan dana yang langsung digulirkan oleh pemerintah pusat langsung kepada keuangan desa untuk mendukung program pemerintah yaitu pembangunan yang dilakukan dari pinggir. Meskipun banyak kasus penyelewengan yang terjadi pada dana desa karena dirasa sumber daya manusia pada pedesaan yang belum siap/mampu untuk mengelola besarnya dana yang bergulir, namun tak sedikit kisah sukses dari adanya dana desa ini.
Dalam buku yang berjudul ”Kisah Sukses Dana Desa, Lilin-lilin Cahaya di Ufuk Fajar Nusantara” yang diterbitkan oleh DJPb, dijelaskan secara terperinci tentang keberhasilan dari penyaluran dana desa di berbagai daerah. Secara garis besar, pemanfaatan dana desa dibagi kedalam lima bidang, yaitu:
a.    Membangun Infrastruktur dari Desa;
b.    Ekonomi Kreatif untuk Kesejahteraan Desa;
c.    Membangun Pertanian Menuju Kemandirian;
d.    Dana Desa untuk Pendidikan, Kesehatan, dan Kualitas Kehidupan;
e.    Dana Desa untuk Pesona Pariwisata.
Realita tentang keberhasilan dan kegagalan dari pemanfaatan dana desa menyiratkan arti bahwa kemampuan perencanaan yang didukung oleh pemetaan yang tepat dan sumber daya manusia yang berkualitas dapat membawa dampak yang besar untuk tujuan pembangunan, namun masih ada beberapa daerah yang kurang memahami apa yang harus mereka lakukan dengan “modal” yang diberikan sehingga tujuan yang seharusnya tercapai gagal untuk terealisasikan dengan baik.

Senin, 17 September 2018

#2 TEORI EKONOMI BIAYA TRANSAKSI



Definisi dan Makna Biaya Transaksi
Biaya transaksi merupakan biaya untuk melakukan proses negosiasi, pengukuran, dan memaksaan pertukaran (exchange).
Secara spesifik, biaya transaksi pasar (market transaction cost) dikelompokkan menjadi:
a.    Biaya menyiapkan kontrak (biaya penncarian/searching dan informasi);
b.    Biaya mengeksekusi kontrak/concluding contracts (biaya negosiasi dan pengambilan keputusan);
c.    Biaya pengawasan (monitoring) dan pemaksaan kewajiban yang tertuang dalam kontrak (enforcing the contractual obligations).
Menurut waktu terjadinya, biaya transaksi dapat dibedakan menjadi biaya transaksi sebelum kontrak (ex-ante) dan setelah kontrak (ex-post). Biaya transaksi ex-ante merupakan biaya membuat draf, negosiasi, dan mengamankan kesepakatan. Sedangkan biaya transaksi ex-post meliputi:
a.    Biaya kegagalan adaptasi (maladaption) ketika transaksi menyimpang dari kesepakatan yang telah dipersyaratkan;
b.    Biaya negosiasi/tawar-menawar (haggling costs) yang terjadi jika upaya bilateral dilakukan untuk mengoreksi penyimpangan setelah kontrak (ex-post);
c.    Biaya untuk merancang dan menjalankan kegiatan yang berhubungan dengan struktur tata kelola pemerintahan (tidak selalu pengadilan) apabila terjadi sengketa;
d.    Biaya pengikatan agar komitmen yang telah dilakukan bisa dijamin.
Rasionalitas Terbatas dan Perilaku Oportunitas
Menurut Williamson terdapat dua asumsi perilaku dalam analisis biaya transaksi yaitu:
a.    Rasionalitas terbatas (bounded rationality) yaitu tingkat dan batas kesanggupan individu untuk menerima, menyimpan, mencari kembali, dan memproses informasi tanpa kesalahan; dan
b.    Perilaku oportunis (opportunistic) yaitu upaya untuk mendapatkan keuntungan melalui praktik yang tidak jujur dalam kegiatan transaksi.
Dua asumsi diatas sebagai wujud agar menghindari kerugian (adverse selection), penyimpangan moral (moral hazard), penipuan, melalaikan kewajiban, dan bentuk-bentuk strategis lain untuk menjelaskan pilihan sistem kontrak dan struktur kepemilikan perusahaan.
Agar pertukaran atau perdagangan bisa terjadi dengan biaya transaksi yang murah, Poulton berpendapat bahwa pelaku ekonomi harus mengeluarkan sumber daya dalam tiga wilayah yang tergolong kegiatan kontrak, yaitu:
a.    Mengukur atribut yang bisa dinilai sehingga proses pertukaran/transaksi terjadi;
b.    Melindungi hak-hak terhadap barang dan jasa yang telah dipertukarkan;
c.    Meregulasi dan menegakkan kesepakatan.
Biaya Transaksi dan Efisiensi Ekonomi
Tantangan pembangunan ekonomi adalah untuk mengurangi biaya transaksi pada saat melakukakan perdagangan yang semakin kompleks melalui penyediaan informasi, melindungi hak kepemilikan, dan menyiapkan mekanisme yang efektif untuk menegakkan kesepakatan.
Penyimpangan yang dapat mempengaruhi besaran biaya transaksi, antara lain:
a.    Penyimpangan atas lemahnya jaminan hak kepemilikan;
b.    Penyimpangan pengukuran atas tugas yang kompleks (multiple-task) dan prinsip yang beragam (multiple-principal);
c.    Penyimpangan intertemporal (kontrak yang timpang, responsivitas waktu yang nyata, ketersembunyian informasi yang panjang, penyalahgunaan strategis);
d.    Penyimpangan akibat lemahnya kebijakan kelembagaan (institutional environment);
e.    Kelemahan integritas (probity).
Menurut Williamson, terdapat tiga sifat utama dari transaksi, yaitu:
a.    Derajata ketidakpastian inklusif dalam setiap transaksi;
b.    Frekuensi transaksi;
c.    Sejauh mana suatu aspek melibatkan satu atau dua pihak yang melakukan kontrak dalam investasi aset-aset spesifik (asset specificity).
Determinan dan Variabel Biaya Transaksi
Menurut Beckman, terdapat empat determinan penting dari biaya transaksi sebagai unit analisis, meliputi:
a.    Atribut perilaku yang melekat pada setiap pelaku ekonomi (behavioral attributes of actors), yaitu rasionalitas terbatas/terikat (bounded rationality) dan oportunisme (opportunism);
b.    Sifat yang berkenaan dengan atribut dari transaksi (attributes of the transaction), yaitu spesifisitas aset (asset specificity), ketidakpastian (uncertainty), dan frekuensi (frequency);
c.    Hal-hal yang berkaitan dengan struktur tata kelola kegiatan ekonomi (governance structure), yaitu pasar (market), hybrid, hierarki (hierarchy), dan pengadilan (courts), regulasi (regulations), birokrasi publik (public bureaucracy);
d.    Faktor yang berdekatan dengan aspek lingkungan kelembagaan (institutional environment), yaitu hukum kepemilikan, kontra, dan budaya.
Dalam konteks variabel biaya transaksi pada level perusahaan, Strassmann mengklasifikan biaya transaksi dalam variabel-veriabel berikut:
a.    Organisasi tenaga kerja dan pengguna (organization of employees and users);
b.    Mengelola informasi (information processing);
c.    Koordinasi pemasok, biaya-biaya akuisisi (coordination of suppliers, costs of acquistion);
d.    Memotivasi pelanggan (motivation customers);
e.    Mengelola distributor (managing distributors);
f.     Memuaskan pemegang saham dan peminjam (satisfying shareholders and lenders);
g.    Fee, komisi, cukai, dan pajak (fees, commissions, tolls, and taxes);
h.    Penelitian dan pengembangan (research and development);
i.      Biaya-biaya penjualan, umum, dan administratif (sales, general, and administrative costs);
j.      Laporan neraca keuangan yang telah diaudit (reported in audited financial statements).

#KUIS

Kesan dan Pemikiran dalam Ekonomi Kelembagaan Terkait dengan Cara Berpikir dalam Melihat Permasalahan Ekonomi Ekonomi kelembagaan meru...