SEJARAH DAN PEMAKNAAN EKONOMI
POLITIK
Secara garis besar, mazhab itu dapat
dipecah dalam tiga kategori sebagaimana ditunjukkan pada bagan berikut ini:
Pendekatan ekonomi politik secara
definitif dimaknai sebagai interelasi diantara aspek, proses, dan institusi
politik dengan kegiatan ekonomi (produksi, investasi, penciptaan harga,
perdagangan, konsumsi, dan lain sebagainya).
Pendekatan ini meletakkan bidang
politik subordinat terhadap ekonomi yang artinya instrumen-instrumen ekonomi
seperti mekanisme pasar, harga, dan investasi dianalisis dengan mempergunakan
setting sistem politik dimana kebijakan atau peristiwa ekonomi tersebut
terjadi. Dengan kata lain, pendekatan ini melihat ekonomi sebagai cara untuk
melakukan tindakan, sedangkan politik menyediakan ruang bagi tindakan tersebut.
Pendekatan ekonomi politik
mempertemukan antara bidang ekonomi dan politik dalam hal alokasi sumber daya
ekonomi dan politik (yang terbatas) untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Implementasi dari kebijakan ekonomi politik selalu mempertimbangkan struktur
kekuasaan dan sosial yang hidup dalam masyarakat, khususnya target masyarakat
yang menjadi sasaran kebijakan.
Pendekatan ekonomi politik semakin
relevan dipakai karena struktur ekonomi tidak dapat ditentukan secara teknis.
Ia terdiri dari dua bagian yang saling terkait.
a.
Kekuatan produksi material (pabrik dan peralatan,
sumber-sumber alam, manusia dengan skill yang ada, dan teknologi). Teknologi
menentukan hubungan produksi yang sifatnya teknis, sehingga proporsi bahan
mentah, mesin, dan tenaga kerja bisa dialokasikan dengan biaya yang paling
minimal;
b.
Relasi produk manusia, seperti hubungan antara pekerja
dan pemilik modal atau antara para pekerja dengan manajer.
Dalam model kebijakan ekonomi, dikenal
dua perspektif yang menjelaskan proses pengambilan keputusan, yaitu:
a.
Pendekatan yang berbasis pada maksimalisasi kesejahteraan
konvensional, asumsinya:
·
Pemerintah bersifat otonom dan eksogen terhadap sistem
ekonomi sehingga setiap kebijakan yang diciptakan selalu berorientasi kepada
kepentingan publik;
·
Pemerintah dianggap aktor serba tahu dan tidak memiliki
kepentingan sendiri;
·
Kegagalan pasar dan efisiensi dalam alokasi sumber daya
menjadi pusat pendekatan;
·
Pemerintah sebagai agen yang memaksimalisasikan fungsi
tujuan kesejahteraan publik (fungsi preferensi politik/political preference function/PPF).
b.
Pendekatan yang bersandarkan pada ekonomi politik baru,
asumsinya:
·
Negara sangat berpotensi untuk mengalami kegagalan (government failure);
·
Fokusnya pada alokasi sumber daya publik dalam pasar
politik dan perilaku mementingkan diri sendiri dari politisi, pemilih, kelompok
penekan, dan birokrat;
·
Tidak dibenarkan negara/pemerintah menguasai seluruh
perangkat kebijakan karena berpotensi menimbulkan misalokasi sumber daya
ekonomi dan politik.
Pendekatan ekonomi politik dipandang
lebih mampu menangkap kondisi rill yang hidup di masyarakat, khususnya dinamika
sosial politik antarkelompok masyarakat.
TEORI PILIHAN PUBLIK
Pendekatan ekonomi politik baru yang
menganggap negara/pemerintah, politisi, atau birokrasi sebgaai agen yang
memiliki kepentingan sendiri merupakan pemicu lahirnya pendekatan public choice
(PC) atau rational choice (RC).
Kepentingan itu masuk dalam proses
tawar-menawar melalui dua bentuk:
a.
Kepentingan langsung terhadap keuntungan memicu aktor
mengabaikan pelayanan kepada pihak eksternal. Kepentingan yang berwujud tugas
administratif berpotensi tidak dikerjakan dengan baik sehingga memiliki
konsekuensi biaya yang mahal, masalah interpretasi, pengawasan, dan sanksi;
b.
Kepentingan tidak langsung mengakibatkan
ketidaksempurnaan distribusi dari kelembagaan formal dalam menyusun kepentingan
negara jangka panjang. Kepentingan tidak langsung lebih penting untuk
dijabarkan dalam penciptaan kelembagaan formal.
Asumsi-asumsi umum yang dipakai
dalam teori pilihan publik:
a.
Kecukupan kepentingan material individu memotivasi adanya
perilaku ekonomi;
b.
Motif kecukupan tersebut lebih mudah dipahami dengan
menggunakan teori ekonomi neoklasik;
c.
Kecukupan kepentingan material individu yang sama
memotivasi adanya perilaku politik;
d.
Dimana asumsi kecukupan tersebut lebih mudah dipahami
dengan menggunakan teori ekonomi neoklasik.
Teori pilihan publik ini secara umum
digunakan didalam banyak disiplin ilmu. Secara prinsip, teori pilihan publik
tersebut melihat tindakan manusia dalam pengertian ekonomi dan tidak terkait
dengan nilai-nilai yang menuntun keputusan rasional.
Dalam operasionalnya, pendekatan
public choice bisa dibedakan dalam dua bagian yaitu supply dan demand.
a.
Pada sisi penawaran (supply)
terdapat dua subyek yang berperan dalam formulasi kebijakan yaitu pusat
kekuasaan yang dipilih (badan legislatif dan eksekutif) yang akan merespon
setiap permintaan dari pemilih dan sensitif terhadap informasi yang disodorkan
oleh kelompok penekan/kepentingan dan pusat kekuasaan yang tidak dipilih (cabang-cabang
eksekutif, lembaga independen, dan organisasi internasional) yang sensitif
terhadap permintaan kelompok kepentingan;
b.
Pada sisi permintaan (demand)
terdapat dua aktor yaitu pemilih dan kelompok-kelompok penekan. Pemilih akan
mengontrol suara untuk mendapatkan kebijakan yang diinginkan sedangkan
kelompok-kelompok penekan akan mengelola sumber daya yang dimiliki untuk memperoleh
keuntungan yang diharapkan.
Kontribusi terbesar dari public choice adalah kemampuannya untuk
menunjukkan bahwa politisi-politisi dalam setiap tindakannya selalu dimotivasi
oleh kepentingan pribadi. Ringakasan perbedaan cara pandang antara ekonomi klasik
dan pilihan publik dijabarkan pada tabel berikut:
Variabel
|
Ekonomi Klasik
|
Pilihan Publik
|
Pemasok
|
Produsen,
pengusaha,distributor
|
Politisi,
parpol, birokrasi, pemerintah
|
Peminta
|
Konsumen
|
Pemilih
|
Jenis komoditas
|
Komoditas
individu
|
Komoditas
publik
|
Alat transaksi
|
Uang
|
Suara
|
Jenis transaksi
|
Transaksi
sukarela
|
Politik sebagai
pertukaran
|
Seperti diungkapkan oleh O’Dowd,
bahwa kegagalan pemerintah bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu
ketidakmungkinan yang melekat/otomatis, kegagalan politik, dan kegagalan
birokrasi. Ketiga bentuk kegagalan pemerintah inilah yang kemudian melahirkan
sisnisme terhadap peran negara dalam perekonomian, sehingga mekanisme pasar
dianggap sebagai solusi yang lebih tepat.
TEORI RENT-SEEKING
Teori rent-seeking diperkenalkan pertama kali oleh Krueger (1974).
Krueger membahas tentang praktik untuk memperoleh kuota impor, dimana kuota
sendiri bisa dimaknai sebagai perbedaan antara harga batas dan harga domestik.
Secara teoritis, kegiatan mencari
rente harus dimaknai secara netral, karena individu bisa memperoleh keuntungan
dari aktivitas ekonomi yang legal, seperi menyewakan tanah, modal, dan
lain-lain. Pendapatan yang diperoleh seseorang melalui penyewaan setara dengan
pendapatan yang diperoleh individu karena menanamkan modalnya maupun menjual
tenaga dan jasanya. Kegiatan mencari rente bisa didefinisikan sebagai upaya
individual atau kelompok untuk mengingkatkan pendapatan melalui pemanfaatan
regulasi pemerintah.
Untuk memahami kesalahan para ekonom
yang menganjurkan kebijakan monopoli bisa dilihat pada gambar diatas:
·
Sumbu horizontal menunjukkan jumlah komoditas, sementara
permintaan ditunjukkan oleh garis DD;
·
Pasar kompetitif ditunjukkan oleh unit Q, keseimbangannya
adalah pada harga P;
·
Pembatasan produksi yang dilakukan oleh monopoli
menyebabkan komoditas dibatasi pada Q1 dan peningkatan harga pada P1.
Perilaku ini yang disebut mencari rente;
·
Konsekuensinya adalah keuntungan konsumen pada warna
hijau di transfer ke pemilik monopoli dan kerugian konsumen sebesar warna
merah.
Secara lebih jelas, Krueger
menerangkan bahwa aktivitas mencari rente, seperti lobi untuk mendapatkan
lisensi atau surat ijin,akan mendistorsi alokasi sumber daya sehingga membuat
ekonomi menjadi tidak efisien.
Untuk mencegah munculnya pemburu
rente adalah dengan membuat regulasi yang memungkinkan pasar berjalan secara
sempurna, yakni melalui peniadaan halangan masuk bagi pelaku ekonomi dan
peningkatan persaingan. Perilaku rente dapat dikurangi dengan mengubah kebijakan lisensi impor
menjadi kebijakan tarif, membuka aliran informasi, mengaplkasikan sanksi moral,
dan menerapkan kebijakan liberalisasi dan privatisasi yang terukur.
TEORI REDISTRIBUTIVE COMBINES DAN
KEADILAN
Pengambil kebijakan lebih memberi
tekanan kepada kegiatan menyaring dan memilah-milah kelompok-kelompok
kepentingan khusus, memilih kelompok-kelompok kepentingan yang mereka anggap
tepat dan mengalihkan sumber daya kepada kelompok-kelompok bersangkutan melalui
saluran hukum.
Setiap kali pemerintah memberikan
perlakuan istimewa atau pengampunan pajak, menurunkan harga, memberikan
perlindungan permanen dan kelompok pekerja tertentu sehingga mereka tidak dapat
dipecat, atau memberikan hak khusus pada bidang usaha tertentu, maka berarti
dengan sendirinya diciptakannya pula biaya dan manfaat yang melenyapkan
rangsangan dan peluang bagi pihak-pihak lain. Tujuan dari kelompok-kelompok
kepentingan ini adalah mempengaruhi pemerintah untuk memperoleh redistribusi
yang menguntungkan mereka atau anggota-anggota mereka.
Proporsi diatas sangat dekat dengan
teori regulasi ekonomi yang dikembangkan oleh Joseph Stigler, dimana teori ini
memusatkan perhatiannya untuk menerangkan siapa yang mendapat manfaat dan siapa
yang menanggung beban akibat adanya suatu regulasi atau aturan ekonomi yang dikeluarkan
pemerintah ataupun yang terjadi karena institusionalisasi yang terjadi didalam
masyarakat.
Menurut Rachbini dalam pola redistributive combines ini,
sumber-sumber ekonomi, aset produktif, dan modal didistibusikan secara terbatas
hanya dilingkungan segelintir orang. Dalam kerangka pemikiran Hernando de Soto,
berlakunya pola redistributive combines ini
terjadi akibat sistem politik yang tertutup karena dilindungi sistem hukum yang
kabur dan ketiadaan rule of law di
bidang ekonomi.
Jika kita hubungkan antara teori redistributive combines oleh de Soto dan
teori keadilan oleh Rawls, relasi antara kedua teori tersebut yaitu:
a.
Redistributive combines mengandaikan adanya
otoritas penuh dari negara/pemerintah untuk mengalokasikan kebijakan kepada kelompok-kelompok
yang berkepentingan terhadap kebijakan tersebut. Akibatnya, kebijakan yang
muncul sebagai hasil dari interaksi antara kelompok kepentingan dan pemerintah
kerapkali hanya menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Jadi,
muncullah isu ketidakadilan;
b.
Kelompok kepentingan yang eksis tidak selamanya
mengandaikan tingkat kemerataan seperti yang diharapkan, khususnya masalah
kekuatan ekonomi. Kelompok kepentingan yang memiliki modal besar dipastikan
akan lebih mampu membeli kebijakan pemerintah ketimbang kelompok yang modalnya
sedikit.
Rawls akhirnya
mengkonseptualisasikan teori keadilan yang bertolak dari dua prinsip:
a.
Setiap orang harus mempunyai hak yang sama terhadap skema
kebebasan dasar yang sejajar yangs ekalius kompatibel dengan skema kebebasan
yang dimiliki oleh orang lain;
b.
Ketimpangan sosial dan ekonomi harus ditangani sehingga
keduanya dapat diekspektasikan secara logis menguntungkan bagi setiap orang dan
dicantumkan posisi dan jabatan yang terbuka bagi seluruh pihak.
Melalui cara berpikir tersebut Rawls percaya bahwa suatu
kebaikan datang dari sesuatu yang benar. Dia memfokuskan seluruh pemikirannya
untuk menciptakan sistem prinsip-prinsip politik yang berbasis kontrak atau
kesetaraan.
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
BalasHapusKaos Dakwah Terbaru
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Mungkin Kau Sering Lupa Kebaikan Istrimu