Modal dan
Pembangunan Perdesaan
Wilayah perdesaan
dicirikan oleh terbatasnya infrastruktur ekonomi, sedikitnya kesempatan kerja
di luar pertanian (non-farm), dan jauh dari pasar. Pembangunan di negara
berkembang harus melihat wilayah perdesaan sebagai fokus dan target
pembangunan. Ciri penting dari penduduk di perdesaan ini adalah masalah
kepemilikan tanah. Tanah merupakan modal utama dari kesejahteraan dan kekuatan
politik di wilayah perdesaan.
Dalam perspektif
pembangunan, Boeke menyimpulkan bahwa perekonomian di Indonesia, Jawa khususnya,
terbagi dalam dua sektor yang saling tidak berhubungan. Dalam mengatasi
ketidakseimbangan, sektor tradisional perlu dirangsang melalui insentif ekonomi
dan peningkatan teknologi produksi, meskipun hasilnya tak akan segera tampak.
Menurut Scott,
persoalan yang berlaku pada masyarakat perdesaan adalah rasionalitas sosial
yang lebih mementingkan kebersamaan ketimbang persaingan. Prinsip moral lebih
dominan daripada rasionalitas ekonomi sehingga pendekatan ekonomi akan sulit
“bekerja” pada masyarakat desa.
Ide dualisme
ekonomi yang diinisiasi oleh Boeke disarikan oleh Ellis dan Biggs menjadi isu
strategis pembangunan perdesaan di negara-negara berkembang.
Aktualitas Gagasan Pembangunan Perdesaan
Dekade
|
Isu Strategis
|
1950-an
|
Modernisasi, model dualisme ekonomi, ‘keterbelakangan’ pertanian,
pembangunan komunitas, dan petani malas (lazy
peasants)
|
1960-an
|
Pendekatan
transformasi, transfer teknologi, mekanisasi, penyuluhan pertanian, peranan
pertumbuhan pertanian, revolusi hijau (awal), dan petani rasional
|
1970-an
|
Redistribusi dengan pertumbuhan, kebutuhan dasar, pembangunan pertanian
yang terintegrasi, kebijakan pertanian oleh negara, kredit yang distimulus
oleh negara (state-led credit), bias perkotaan, introduksi inovasi, revolusi
hijau (lanjutan), dan pertumbuhan perdesaan yang terkait (rural growth linkages)
|
1980-an
|
Penyesuaian
struktural, pasar bebas, kebijakan harga yang tepat (getting price right),
meminimalisasi peran negara (retreat of
the state), meningkatkan peran NGOs, rapid
rural appraisal (RRA), penelitian sistem pertanian (farming system research), analisis ketahanan pangan dan
kelaparan, pembangunan perdesaan sebagai proses (bukan produk), perempuan
dalam pembangunan, dan pengentasan kemiskinan (poverty allevation)
|
1990-an
|
Kredit mikro, participatory rural
appraisal (PRA), pembangunan perdesaan berorientasi pelaku (aktor),
analisis stakeholders, jaring
pengaman perdesaan, jender dan pembangunan, lingkungan dan kesinambungan (sustainability), dan pengurangan
kemiskinan (poverty reduction)
|
2000-an
|
Penghidupan
yang berlanjut (sustainable livelihoods),
tata kelola yang baik (good governance),
desentralisasi, kritik terhadap partisipasi, pendapatan sektoral yang
diperluas (sector-wide approach),
perlindungan sosial, dan pemusnahan kemiskinan (poverty eradication)
|
Fase-fase
tersebut bisa diidentifikasi bahwa proses komersialisasi sektor perdesaan sudah
terjadi pada 1960-an, melalui serangkaian kebijakan yang berupaya meningkatkan
pertumbuhan sektor pertanian, revolusi hijau, dan penciptaan petani rasional.
Setiap upaya
komersialisasi pertanian tidak mesti akan meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani apabila sifat dari komersialisasi pasar meletakkan petani
dalam posisi subordinat. Dimana setiap upaya modernisasi (komersialisasi) pertanian
justru meletakkan petani dalam posisi yang selalu kalah. Keuntungan ekonomi
pertanian lebih banyak jatuh pada pemilik modal/pedagang yang relatif memiliki
posisi tawar lebih tinggi dibandingkan dengan petani.
Dari penjelasan
tersebut, persoalan paling rumit yang berada di wilayah perdesaan adalah
penyediaan modal. Keterbatasan modal menyebabkan sirkulasi kegiatan ekonomi
tidak berjalan. Berbekal situasi yang seperti itu, para perumus kebijakan
pembangunan perdesaan meluncurkan program kredit mikro sebagai instrumen
pengembangan kelembagaan sektor finansial di perdesaan, khususnya sejak
1990-an. Negara yang menerapkan lembaga keuangan dianggap telah berhasil,
misalnya Bangladesh dengan Grameen Bank.
Sektor Finansial:
Formal dan Informal
Pada umumnya, lembaga
keuangan di perdesaan bisa dibedakan dalam tiga jenis, yaitu lembaga keuangan
formal, lembaga keuangan semi-formal, dan lembaga keuangan informal. Lembaga
keuangan formal diatur dalam UU Perbankan dan disupervisi oleh bank sentral,
bisa berupa bank pemerintah maupun swasta. Bank semi-formal adalah perbankan
yang tidak diatur dalam UU, tetapi disupervisi dan diregulasi oleh agen
(lembaga) pemerintah selain bank sentral. Lembaga keuangan informal beroperasi
di luar regulasi dan supervisi lembaga pemerintah (negara). Lembaga keuangan
informal bukan sekedar menyediakan uang (cash)
untuk keperluan transaksi, terkadang memberikan bantuan dalam bentuk barang (in-kind). Karakter yang fleksibel
membuat lembaga keuangan informal memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup di
wilayah perdesaan.
Ciri penting dari
lembaga keuangan formal dan semi-formal adalah tipe kesepakatan dalam bentuk
sistem kontrak yang berisi tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak,
misalnya persyaratan agunan (collateral), model pembayaran (repayment), dan
sanksi (punishment) apabila salah satu pihak ingkar terhadap kesepakatan.
Sedangkan lembaga keuangan informal bersifat sangat cair, hubungan antara
kreditor dan debitor bersifat personal, dan nyaris tidak ada persyaratan administrasi
yang dibutuhkan. Dengan karakteristik tersebut, lembaga keuangan informal lebih
mudah diterima oleh masyarakat perdesaan.
Pada sektor
pertanian terdapat tiga sumber kredit informal di perdesaan, yaitu pemilik
tanah bagi penyakap (tenant), petani penggarap bagi buruh tani, pelepas
pinjaman perdesaan (rentenir/tengkulak).
Dalam konteks
pembangunan perdesaan di Indonesia, lembaga keuangan formal adalah BRI.
Pemerintah menyediakan fasilitas kredit modal kerja (kredit produksi). Kredit
Usaha Tani (KUT) yang disalurkan melalui KUD. Sedangkan untuk lembaga keuangan
semi-formal terdapat Badan Kredit Desa. BKD merupakan lembaga keuangan yang
beroperasi pada desa-desa terpencil dan sebagai bank beras (rice banks) di
Jawa. BKD disupervisi oleh kepala desa dan BRI. LDKP beroperasi baik pada level
kecamatan maupun desa, yang diregulasi oleh UU Pemerintah Provinsi dan
disupervisi oleh kepala Bank Pembangunan Daerah (BPD). KUD merupakan koperasi
desa yang masuk ke seluruh sektor perekonomian desa.
Di perdesaan
terdapat satu lembaga keuangan lain yaitu lembaga keuangan swadaya (financial
self-help groups). Prinsipnya adalah adanya rotasi tabungan dan asosiasi kredit
(rotating savings and credit associations), dimana anggota kelompok
berkontribusi secara reguler memberikan dana kepada salah satu atau beberapa
anggota (sistem kopyok/giliran) berdasarkan kesepakatan perputaran (rotation),
atau tabungan dan kelompok kredit; hal ini berguna untuk membangun kerjasama
dana pinjaman melalui pembagian modal (capital shares), tabungan dan pendapatan
bersih dari intermediasi antara penabung dan peminjam, dan menyediakan pinjaman
berdasarkan tingkat bunga eksplisit dan permintaan eksplisit dari semua
anggota.
Di negara lain
terdapat beragam lembaga keuangan yang beroperasi di perdesaan. Di Bangladesh
dengan Grameen Bank (GB) yang menyediakan kredit kepada masyarakat miskin
perdesaan (rumah tangga perdesaan yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar)
agar terjadi perubahan kehidupan ekonomi yang lebih baik. GB membuat pinjaman skala
kecil (small loans) di wilayah perdesaan melalui jaringan yang besar (large
network) dari cabang-cabang dan jasa pelayanan alternatif. Hal tersebut
memberikan dua keuntungan yaitu membuka akses yang besar terhadap kredit
(karena tidak ada agunan) dan membebani masyarakat miskin dengan biaya bunga
rendah (dibandingkan lembaga keuangan informal).
Contoh lainnya
adalah VEF (Village Enterprise Fund/Dana Usaha Desa) di San Fransisco, USA. VEF
merupakan keuangan mikro (microfinance) milik lembaga non-pemerintah (NGO) yang
kecil di desa. Sumber dana dari sumbangan-sumbangan, baik dari para individu,
komisaris (board of directors) VEF sendiri, gereja, dan lembaga-lembaga lain.
Prosedur penyaluran bantuan dari VEF dapat dilihat dari gambar berikut.
Proses Bantuan Dana Usaha Desa
Donasi kepada Dana Usaha Desa
|
|
Koordinator (sukarelawan) mengidentifikasi debitor
|
|
Bisnis dimulai dengan pembayaran pertama (pelatihan)
|
|
Rencana bisnis ditulis dan dimasukkan
|
|
Laporan bisnis dilaporkan setelah 3 minggu
|
|
Penilaian periodik melalui survei formal dan informal
|
Sistem Finansial
di Sektor Pertanian: Kasus Petani Tebu
Salah satu pilar
penting yang mendukung proses produksi petani adalah ketersediaan sumber modal
(kredit). Dalam kasus petani tebu, faktor kredit menjadi penting karena
karakteristik tanaman tebu yang berbeda dengan tanaman padi dan sayur-sayuran,
yaitu waktu tanam yang lama (12 bulan), areal yang lebih luas (rata-rata >2 ha),
dan biaya bibit/pupuk yang besar.
Sumber kredit
petani tebu dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu kredit yang berasal
dari pabrik gula/KUD yang uangnya berasal dari program pemerintah yang
disalurkan melalui perbankan yang ditunjuk. Pihak pabrik gula yang menyeleksi
petani tebu yang berhak mendapatkan kredit dan mengumpulkan agunannya, sedangkan
KUD bertugas untuk mengucurkan kredit. Kredit yang berasal dari tengkulak. Kredit
dari tengkulak tidak memakai agunan, namun bunga yang dikenakan sangat tinggi (lebih
dari 40%). Kredit yang berasal dari tetangga (sesama petani tebu) atau
keluarga. Kreditnya tidak menggunakan agunan atau bunga namun sulit didapatkan
karena modal pemberi kredit jumlahnya terbatas dan tidak memeroleh keuntungan
apapun.
Apabila sumber
kredit diklasifikasikan berdasarkan jenis petani tebu, maka petani tebu rakyat
kredit sebagian besar sumber kreditnya berasal dari koperasi/PG (85%) dan
petani tebu rakyat mandiri berasal dari tengkulak (54%). Untuk mendapatkan
kredit, petani tebu tidak harus menjadi anggota koperasi, namun petani yang
menjadi anggota koperasi/KUD akan mendapat kemudahan dalam akses kredit.
Mengenai masa
pengembalian kredit, misalnya kredit untuk sektor industri, kredit yang diberikan
kepada petani dibayar setelah masa panen tiba. Kredit yang diterima oleh petani
mayoritas tidak dikenakan potongan oleh koperasi, mayoritas petani tebu tidak
perlu memberikan komisi kepada pihak koperasi maupun tengkulak agar bisa
mendapatkan kredit. Tetapi pada kenyataannya petani malah dibebani dengan bunga
yang tinggi dari aturan resmi. Demikian pula, ketika koperasi memberi pinjaman
berupa bibit/pupuk (natura) kepada petani tebu, biasanya nilai potongan
dilakukan secara tidak transparan. Bisa dikatakan sistem kredit yang disalurkan
kepada petani tidak dikelola secara baik sehingga berjalan seperti yang
diharapkan.
Berbeda dengan
pelaku ekonomi lain yang langsung berinteraksi dengan pihak bank untuk
mendapatkan kredit, petani harus berhubungan dengan banyak lembaga lain untuk
memeroleh kredit sehingga sangat rawan dengan penyelewengan tingkat bunga yang
dikenakan. Pemerintah sejak awal mengenakan tingkat bunga sebesar 12-13% per
tahun, tetapi banyak koperasi yang mengenakan tingkat bunga kepada petani tebu
anatar 16-20%. Selisish bunga ini merupakan “pendapatan ilegal” yang dinikmati
oleh koperasi dengan memanfaatkan keterbatasan informasi yang dimiliki petani.
Mayoritas petani
tebu rakyat kredit harus menyerahkan agunan sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan (93%). Nilai agunan akan menentukan berapa jumlah kredit yang
diberikan oleh koperasi. Jenis agunan yang diberikan sebagian besar adalah surat
kendaraan bermotor (BPKB/STNK) dan berupa sertifikat tanah.
Kredit yang
diterima koperasi sering terlambat menyebabkan sebagian petani mengeluh
produksinya tidak bisa maksimal. Keterlambatan penurunan kredit karena
pemerintah terlambat menurunkan kredit kepada pihak perbankan atau pihak
perbankan yang enggan menyediakan kredit kepada petani karena insentif
keuntungan yang lebih kecil.
Hal umum yang
dijumpai dalam sistem kredit di sektor pertanian adalah tidak tepat waktunya
penyaluran karena birokrasi yang rumit, agunan kredit yang harus disetorkan oleh
petani membuat sebagian besar dari mereka tidak mampu mengakses kredit formal,
kelembagaan keuangan formal masih mempraktikkan tindakan manipulatif, petani
yang langsung berhubungan dengan lembaga keuangan formal kesulitan untuk
melakukan pengembalian (repayment) karena menggunakan sistem bulanan.
Desain
Kelembagaan Sektor Finansial
Persoalan lembaga
keuangan di perdesaan bisa diidentifikasi dalam tiga aspek yaitu, masalah akses
kredit, posisi tawar dan informasi masyarakat perdesaan yang sangat rendah
menyebabkan rawan terhadap praktik manipulasi dari lembaga keuangan formal
maupun semi-formal, dan informasi yang asimetris dari pemberi pinjaman/kredit
terhadap peminjam. Oleh karena itu, kelembagaan keuangan informal masuk untuk
mengisi keterbatasan yang tidak dapat dijangkau oleh lembaga keuangan formal.
Kehadiran lembaga
keuangan informal dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu:
a.
Pemikiran represi keuangan, dimana pelaku keuangan
informal memulai usaha sebagai akibat dari regulasi pemerintah yang
besar-besaran terhadap sektor keuangan formal, seperti penggunaan kebijakan
kredit langsung, suku bunga ganda, dan preferensi alokasi kredit kepada
pemerintah dan lembaga cabang-cabangnya. Praktik itu sangat rawan penyuapan dan
korupsi diantara bank dan pejabat pemerintah sehingga menyebabkan biaya untuk
mendapatkan dana bagi kelompok miskin menjadi sangat mahal.
b.
Pemikiran strukturalis, dimana munculnya lembaga keuangan
informal di luar motif ekonomi. Segmentasi pasar terjadi karena kelembagaan keuangan
informal melayani kelompok sosial lain. Lembaga mendistribusikan pendapatan di
antara anggota komunitas dan menyediakan bentuk-bentuk jaminan sosial yang bisa
mengatasi fluktuasi likuiditas masyarakat miskin. Anggota-anggota komunitas
mengekspresikan solidaritasnya berdasarkan hubungan kekeluargaan, etnisitas,
dan agama.
Namun bukan
berarti kelembagaan keuangan informal berjalan tanpa masalah. Kelemahan pokok
dari lembaga keuangan informal adalah menempatkan pelaku ekonomi skala kecil
dalam posisi yang tidak setara, salah satunya bisa dilihat dari pengenaan bunga
kredit yang sangat tinggi. Isu yang harus ditangani bila lembaga keuangan
informal akan dikembangkan adalah memerkuat posisi petani pada saat berhadapan
dengan lembaga keuangan informal, atau pemerintah memberikan regulasi batas
bunga maksimal yang dapat dikenakan oleh lembaga keuangan informal kepada
debitor.
Terdapat dua buah
solusi lain yang bisa dilakukan, yaitu mengaitkan lembaga keuangan formal
dengan lembaga keuangan informal. Lembaga keuangan informal dijadikan sebagai
agen yang mencari dan mengeksekusi kredit kepada masyarakat, sedangkan lembaga
keuangan formal sebagai prinsipal yang menyediakan dana. Selanjutnya, mendesain
kelembagaan keuangan formal berdasarkan struktur atau hirarki masyarakat, baik
struktur nilai-nilai maupun struktur sosial. Operasi lembaga keuangan formal di
desain dengan cara mengadopsi nilai-nilai yang tumbuh di dalam masyarakat
lokal.