Minggu, 09 Desember 2018

#KUIS


Kesan dan Pemikiran dalam Ekonomi Kelembagaan Terkait dengan Cara Berpikir dalam Melihat Permasalahan Ekonomi
Ekonomi kelembagaan merupakan buah pemikiran dari sebuah penelitian yang dipelopori oleh Thorstein Veblen dan kemudian disempurnakan oleh John R. Commons. Veblen memusatkan penelitiannya pada pengembangan dikotomi antara kelembagaan dan teknologi, dimana fakta pada struktur ekonomi modern yang melihat kekuasaan politik dan ekonomi dari kepentingan korporasi besar. Sedangkan Commons lebih memfokuskan penelitiannya pada hukum, hak kepemilikan (property rights), dan organisasi yang memiliki implikasi terhadap kekuatan ekonomi, transaksi ekonomi, dan distribusi pendapatan.
Berbeda dari pemikiran-pemikiran sebelumnya yaitu pemikiran klasik dan neo-klasik, yang lebih tradisional, pemikiran ekonomi kelembagaan merupakan sebuah alternatif baru dalam dunia ekonomi dimana memandang suatu permasalahan ekonomi tidak hanya secara parsial (sebagian) namun secara keseluruhan (holisitik). Bisa dikatakan, ekonomi kelembagaan menjadi solusi dari permasalahan yang ada, yang berasal dari pemikiran-pemikiran sebelumnya.
 Dalam ekonomi kelembagaan semua hal dalam ekonomi, terkhusus pada visi ekonominya, lebih ke arah yang dinamis sehingga konsep ekonomi yang dipakai menggunakan pendekatan budaya. Ahli kelembagaan berusaha membuat model-model pola/pattern models yang menjelaskan perilaku manusia  (human behavior) dalam konteks kelembagaan dan budaya. Ide inti dari paham kelembagaan (institutionalism) adalah kelembagaan (institutions), kebiasaan (habits), aturan (rules), dan perkembangannya (evolution).
Dalam ekonomi kelembagaan selalu terdapat aturan main (rule of games) yang harus dipatuhi oleh setiap pemeran di dalam perekonomian. Aturan ini dibuat untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh berbagai pihak terkait. Ciri inilah yang menjadikan ekonomi kelembagaan dirasa lebih sesuai dan cocok dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada saat ini.


Rabu, 05 Desember 2018

#14 PEMBANGUNAN PERDESAAN DAN KELEMBAGAAN SEKTOR FINANSIAL



Modal dan Pembangunan Perdesaan
Wilayah perdesaan dicirikan oleh terbatasnya infrastruktur ekonomi, sedikitnya kesempatan kerja di luar pertanian (non-farm), dan jauh dari pasar. Pembangunan di negara berkembang harus melihat wilayah perdesaan sebagai fokus dan target pembangunan. Ciri penting dari penduduk di perdesaan ini adalah masalah kepemilikan tanah. Tanah merupakan modal utama dari kesejahteraan dan kekuatan politik di wilayah perdesaan.
Dalam perspektif pembangunan, Boeke menyimpulkan bahwa perekonomian di Indonesia, Jawa khususnya, terbagi dalam dua sektor yang saling tidak berhubungan. Dalam mengatasi ketidakseimbangan, sektor tradisional perlu dirangsang melalui insentif ekonomi dan peningkatan teknologi produksi, meskipun hasilnya tak akan segera tampak.
Menurut Scott, persoalan yang berlaku pada masyarakat perdesaan adalah rasionalitas sosial yang lebih mementingkan kebersamaan ketimbang persaingan. Prinsip moral lebih dominan daripada rasionalitas ekonomi sehingga pendekatan ekonomi akan sulit “bekerja” pada masyarakat desa.
Ide dualisme ekonomi yang diinisiasi oleh Boeke disarikan oleh Ellis dan Biggs menjadi isu strategis pembangunan perdesaan di negara-negara berkembang.
Aktualitas Gagasan Pembangunan Perdesaan
Dekade
Isu Strategis
1950-an
Modernisasi, model dualisme ekonomi, ‘keterbelakangan’ pertanian, pembangunan komunitas, dan petani malas (lazy peasants)
1960-an
Pendekatan transformasi, transfer teknologi, mekanisasi, penyuluhan pertanian, peranan pertumbuhan pertanian, revolusi hijau (awal), dan petani rasional
1970-an
Redistribusi dengan pertumbuhan, kebutuhan dasar, pembangunan pertanian yang terintegrasi, kebijakan pertanian oleh negara, kredit yang distimulus oleh negara (state-led credit), bias perkotaan, introduksi inovasi, revolusi hijau (lanjutan), dan pertumbuhan perdesaan yang terkait (rural growth linkages)
1980-an
Penyesuaian struktural, pasar bebas, kebijakan harga yang tepat (getting price right), meminimalisasi peran negara (retreat of the state), meningkatkan peran NGOs, rapid rural appraisal (RRA), penelitian sistem pertanian (farming system research), analisis ketahanan pangan dan kelaparan, pembangunan perdesaan sebagai proses (bukan produk), perempuan dalam pembangunan, dan pengentasan kemiskinan (poverty allevation)
1990-an
Kredit mikro, participatory rural appraisal (PRA), pembangunan perdesaan berorientasi pelaku (aktor), analisis stakeholders, jaring pengaman perdesaan, jender dan pembangunan, lingkungan dan kesinambungan (sustainability), dan pengurangan kemiskinan (poverty reduction)
2000-an
Penghidupan yang berlanjut (sustainable livelihoods), tata kelola yang baik (good governance), desentralisasi, kritik terhadap partisipasi, pendapatan sektoral yang diperluas (sector-wide approach), perlindungan sosial, dan pemusnahan kemiskinan (poverty eradication)

Fase-fase tersebut bisa diidentifikasi bahwa proses komersialisasi sektor perdesaan sudah terjadi pada 1960-an, melalui serangkaian kebijakan yang berupaya meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian, revolusi hijau, dan penciptaan petani rasional.
Setiap upaya komersialisasi pertanian tidak mesti akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani apabila sifat dari komersialisasi pasar meletakkan petani dalam posisi subordinat. Dimana setiap upaya modernisasi (komersialisasi) pertanian justru meletakkan petani dalam posisi yang selalu kalah. Keuntungan ekonomi pertanian lebih banyak jatuh pada pemilik modal/pedagang yang relatif memiliki posisi tawar lebih tinggi dibandingkan dengan petani.
Dari penjelasan tersebut, persoalan paling rumit yang berada di wilayah perdesaan adalah penyediaan modal. Keterbatasan modal menyebabkan sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan. Berbekal situasi yang seperti itu, para perumus kebijakan pembangunan perdesaan meluncurkan program kredit mikro sebagai instrumen pengembangan kelembagaan sektor finansial di perdesaan, khususnya sejak 1990-an. Negara yang menerapkan lembaga keuangan dianggap telah berhasil, misalnya Bangladesh dengan Grameen Bank.

Sektor Finansial: Formal dan Informal
Pada umumnya, lembaga keuangan di perdesaan bisa dibedakan dalam tiga jenis, yaitu lembaga keuangan formal, lembaga keuangan semi-formal, dan lembaga keuangan informal. Lembaga keuangan formal diatur dalam UU Perbankan dan disupervisi oleh bank sentral, bisa berupa bank pemerintah maupun swasta. Bank semi-formal adalah perbankan yang tidak diatur dalam UU, tetapi disupervisi dan diregulasi oleh agen (lembaga) pemerintah selain bank sentral. Lembaga keuangan informal beroperasi di luar regulasi dan supervisi lembaga pemerintah (negara). Lembaga keuangan informal bukan sekedar menyediakan uang (cash) untuk keperluan transaksi, terkadang memberikan bantuan dalam bentuk barang (in-kind). Karakter yang fleksibel membuat lembaga keuangan informal memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup di wilayah perdesaan.
Ciri penting dari lembaga keuangan formal dan semi-formal adalah tipe kesepakatan dalam bentuk sistem kontrak yang berisi tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, misalnya persyaratan agunan (collateral), model pembayaran (repayment), dan sanksi (punishment) apabila salah satu pihak ingkar terhadap kesepakatan. Sedangkan lembaga keuangan informal bersifat sangat cair, hubungan antara kreditor dan debitor bersifat personal, dan nyaris tidak ada persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Dengan karakteristik tersebut, lembaga keuangan informal lebih mudah diterima oleh masyarakat perdesaan.
Pada sektor pertanian terdapat tiga sumber kredit informal di perdesaan, yaitu pemilik tanah bagi penyakap (tenant), petani penggarap bagi buruh tani, pelepas pinjaman perdesaan (rentenir/tengkulak).
Dalam konteks pembangunan perdesaan di Indonesia, lembaga keuangan formal adalah BRI. Pemerintah menyediakan fasilitas kredit modal kerja (kredit produksi). Kredit Usaha Tani (KUT) yang disalurkan melalui KUD. Sedangkan untuk lembaga keuangan semi-formal terdapat Badan Kredit Desa. BKD merupakan lembaga keuangan yang beroperasi pada desa-desa terpencil dan sebagai bank beras (rice banks) di Jawa. BKD disupervisi oleh kepala desa dan BRI. LDKP beroperasi baik pada level kecamatan maupun desa, yang diregulasi oleh UU Pemerintah Provinsi dan disupervisi oleh kepala Bank Pembangunan Daerah (BPD). KUD merupakan koperasi desa yang masuk ke seluruh sektor perekonomian desa.
Di perdesaan terdapat satu lembaga keuangan lain yaitu lembaga keuangan swadaya (financial self-help groups). Prinsipnya adalah adanya rotasi tabungan dan asosiasi kredit (rotating savings and credit associations), dimana anggota kelompok berkontribusi secara reguler memberikan dana kepada salah satu atau beberapa anggota (sistem kopyok/giliran) berdasarkan kesepakatan perputaran (rotation), atau tabungan dan kelompok kredit; hal ini berguna untuk membangun kerjasama dana pinjaman melalui pembagian modal (capital shares), tabungan dan pendapatan bersih dari intermediasi antara penabung dan peminjam, dan menyediakan pinjaman berdasarkan tingkat bunga eksplisit dan permintaan eksplisit dari semua anggota.
Di negara lain terdapat beragam lembaga keuangan yang beroperasi di perdesaan. Di Bangladesh dengan Grameen Bank (GB) yang menyediakan kredit kepada masyarakat miskin perdesaan (rumah tangga perdesaan yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar) agar terjadi perubahan kehidupan ekonomi yang lebih baik. GB membuat pinjaman skala kecil (small loans) di wilayah perdesaan melalui jaringan yang besar (large network) dari cabang-cabang dan jasa pelayanan alternatif. Hal tersebut memberikan dua keuntungan yaitu membuka akses yang besar terhadap kredit (karena tidak ada agunan) dan membebani masyarakat miskin dengan biaya bunga rendah (dibandingkan lembaga keuangan informal).
Contoh lainnya adalah VEF (Village Enterprise Fund/Dana Usaha Desa) di San Fransisco, USA. VEF merupakan keuangan mikro (microfinance) milik lembaga non-pemerintah (NGO) yang kecil di desa. Sumber dana dari sumbangan-sumbangan, baik dari para individu, komisaris (board of directors) VEF sendiri, gereja, dan lembaga-lembaga lain. Prosedur penyaluran bantuan dari VEF dapat dilihat dari gambar berikut.
Proses Bantuan Dana Usaha Desa
Donasi kepada Dana Usaha Desa
Koordinator (sukarelawan) mengidentifikasi debitor
Bisnis dimulai dengan pembayaran pertama (pelatihan)
Rencana bisnis ditulis dan dimasukkan
Laporan bisnis dilaporkan setelah 3 minggu
Penilaian periodik melalui survei formal dan informal

Sistem Finansial di Sektor Pertanian: Kasus Petani Tebu
Salah satu pilar penting yang mendukung proses produksi petani adalah ketersediaan sumber modal (kredit). Dalam kasus petani tebu, faktor kredit menjadi penting karena karakteristik tanaman tebu yang berbeda dengan tanaman padi dan sayur-sayuran, yaitu waktu tanam yang lama (12 bulan), areal yang lebih luas (rata-rata >2 ha), dan biaya bibit/pupuk yang besar.
Sumber kredit petani tebu dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu kredit yang berasal dari pabrik gula/KUD yang uangnya berasal dari program pemerintah yang disalurkan melalui perbankan yang ditunjuk. Pihak pabrik gula yang menyeleksi petani tebu yang berhak mendapatkan kredit dan mengumpulkan agunannya, sedangkan KUD bertugas untuk mengucurkan kredit. Kredit yang berasal dari tengkulak. Kredit dari tengkulak tidak memakai agunan, namun bunga yang dikenakan sangat tinggi (lebih dari 40%). Kredit yang berasal dari tetangga (sesama petani tebu) atau keluarga. Kreditnya tidak menggunakan agunan atau bunga namun sulit didapatkan karena modal pemberi kredit jumlahnya terbatas dan tidak memeroleh keuntungan apapun.
Apabila sumber kredit diklasifikasikan berdasarkan jenis petani tebu, maka petani tebu rakyat kredit sebagian besar sumber kreditnya berasal dari koperasi/PG (85%) dan petani tebu rakyat mandiri berasal dari tengkulak (54%). Untuk mendapatkan kredit, petani tebu tidak harus menjadi anggota koperasi, namun petani yang menjadi anggota koperasi/KUD akan mendapat kemudahan dalam akses kredit.
Mengenai masa pengembalian kredit, misalnya kredit untuk sektor industri, kredit yang diberikan kepada petani dibayar setelah masa panen tiba. Kredit yang diterima oleh petani mayoritas tidak dikenakan potongan oleh koperasi, mayoritas petani tebu tidak perlu memberikan komisi kepada pihak koperasi maupun tengkulak agar bisa mendapatkan kredit. Tetapi pada kenyataannya petani malah dibebani dengan bunga yang tinggi dari aturan resmi. Demikian pula, ketika koperasi memberi pinjaman berupa bibit/pupuk (natura) kepada petani tebu, biasanya nilai potongan dilakukan secara tidak transparan. Bisa dikatakan sistem kredit yang disalurkan kepada petani tidak dikelola secara baik sehingga berjalan seperti yang diharapkan.
Berbeda dengan pelaku ekonomi lain yang langsung berinteraksi dengan pihak bank untuk mendapatkan kredit, petani harus berhubungan dengan banyak lembaga lain untuk memeroleh kredit sehingga sangat rawan dengan penyelewengan tingkat bunga yang dikenakan. Pemerintah sejak awal mengenakan tingkat bunga sebesar 12-13% per tahun, tetapi banyak koperasi yang mengenakan tingkat bunga kepada petani tebu anatar 16-20%. Selisish bunga ini merupakan “pendapatan ilegal” yang dinikmati oleh koperasi dengan memanfaatkan keterbatasan informasi yang dimiliki petani.
Mayoritas petani tebu rakyat kredit harus menyerahkan agunan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan (93%). Nilai agunan akan menentukan berapa jumlah kredit yang diberikan oleh koperasi. Jenis agunan yang diberikan sebagian besar adalah surat kendaraan bermotor (BPKB/STNK) dan berupa sertifikat tanah.
Kredit yang diterima koperasi sering terlambat menyebabkan sebagian petani mengeluh produksinya tidak bisa maksimal. Keterlambatan penurunan kredit karena pemerintah terlambat menurunkan kredit kepada pihak perbankan atau pihak perbankan yang enggan menyediakan kredit kepada petani karena insentif keuntungan yang lebih kecil.
Hal umum yang dijumpai dalam sistem kredit di sektor pertanian adalah tidak tepat waktunya penyaluran karena birokrasi yang rumit, agunan kredit yang harus disetorkan oleh petani membuat sebagian besar dari mereka tidak mampu mengakses kredit formal, kelembagaan keuangan formal masih mempraktikkan tindakan manipulatif, petani yang langsung berhubungan dengan lembaga keuangan formal kesulitan untuk melakukan pengembalian (repayment) karena menggunakan sistem bulanan.

Desain Kelembagaan Sektor Finansial
Persoalan lembaga keuangan di perdesaan bisa diidentifikasi dalam tiga aspek yaitu, masalah akses kredit, posisi tawar dan informasi masyarakat perdesaan yang sangat rendah menyebabkan rawan terhadap praktik manipulasi dari lembaga keuangan formal maupun semi-formal, dan informasi yang asimetris dari pemberi pinjaman/kredit terhadap peminjam. Oleh karena itu, kelembagaan keuangan informal masuk untuk mengisi keterbatasan yang tidak dapat dijangkau oleh lembaga keuangan formal.
Kehadiran lembaga keuangan informal dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu:
a.    Pemikiran represi keuangan, dimana pelaku keuangan informal memulai usaha sebagai akibat dari regulasi pemerintah yang besar-besaran terhadap sektor keuangan formal, seperti penggunaan kebijakan kredit langsung, suku bunga ganda, dan preferensi alokasi kredit kepada pemerintah dan lembaga cabang-cabangnya. Praktik itu sangat rawan penyuapan dan korupsi diantara bank dan pejabat pemerintah sehingga menyebabkan biaya untuk mendapatkan dana bagi kelompok miskin menjadi sangat mahal.
b.    Pemikiran strukturalis, dimana munculnya lembaga keuangan informal di luar motif ekonomi. Segmentasi pasar terjadi karena kelembagaan keuangan informal melayani kelompok sosial lain. Lembaga mendistribusikan pendapatan di antara anggota komunitas dan menyediakan bentuk-bentuk jaminan sosial yang bisa mengatasi fluktuasi likuiditas masyarakat miskin. Anggota-anggota komunitas mengekspresikan solidaritasnya berdasarkan hubungan kekeluargaan, etnisitas, dan agama.
Namun bukan berarti kelembagaan keuangan informal berjalan tanpa masalah. Kelemahan pokok dari lembaga keuangan informal adalah menempatkan pelaku ekonomi skala kecil dalam posisi yang tidak setara, salah satunya bisa dilihat dari pengenaan bunga kredit yang sangat tinggi. Isu yang harus ditangani bila lembaga keuangan informal akan dikembangkan adalah memerkuat posisi petani pada saat berhadapan dengan lembaga keuangan informal, atau pemerintah memberikan regulasi batas bunga maksimal yang dapat dikenakan oleh lembaga keuangan informal kepada debitor.
Terdapat dua buah solusi lain yang bisa dilakukan, yaitu mengaitkan lembaga keuangan formal dengan lembaga keuangan informal. Lembaga keuangan informal dijadikan sebagai agen yang mencari dan mengeksekusi kredit kepada masyarakat, sedangkan lembaga keuangan formal sebagai prinsipal yang menyediakan dana. Selanjutnya, mendesain kelembagaan keuangan formal berdasarkan struktur atau hirarki masyarakat, baik struktur nilai-nilai maupun struktur sosial. Operasi lembaga keuangan formal di desain dengan cara mengadopsi nilai-nilai yang tumbuh di dalam masyarakat lokal.

Sabtu, 01 Desember 2018

#14 KRISIS EKONOMI, KEBIJAKAN REFORMASI, DAN KELEMBAGAAN EKONOMI



Perspektif Krisis Ekonomi
Sejak dekade 1980-an dinamika perekonomian dunia berjalan dengan cepat. Di wilayah Asia Tenggara, data 1996 (sebelum krisis 1997/1998), perekonomian berhasil mengakumulasi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil. Inflasi yang stabil membuat investor memiliki kepastian usaha, sementara bagi konsumen (masyarakat) daya belinya cukup kuat. Pertemuan antara ekspektasi positif dari pemilik modal dan daya beli masyarakat menopang pertumbuhan ekonomi di wilayah Asia Tenggara.
Krisis ekonomi dipicu jatuhnya nilai tukar Bath (Thailand) terhadap US dollar pada 2 Juli 1997. Depresiasi nilai tukar menjalar (contagion effect) ke Malaysia, Indonesia, Korea Selatan, dan lain-lain. Tercatat, indeks harga saham di Thailand turun 80% dan mata uangnya terdevaluasi 100%; harga saham di indonesia turun 60% dan rupiah terdevaluasi hingga 600%; sedangkan Korea Selatan harga saham turun 65% dan won terdevaluasi 100%. Parahnya dampak krisis moneter memengaruhi kinerja ekonomi secara keseluruhan, termasuk sektor riil.
Menurut Charoenseang dan Manakit, terdapat dua sudut pandang dalam melihat pemicu krisis. Pertama, fundamental ekonomi yang rapuh dan inkonsistensi kebijakan (first generation model). Kedua, kepanikan di sektor keuangan (financial panic) yang berinteraksi dengan ekspektasi pelaku ekonomi sehingga berpengaruh langsung terhadap kebijakan makroekonomi (second generation model).
Dalam kasus Indonesia, pada first generation model ditandai dengan kerentanan di sektor perbankan maupun struktur koperasi. Usaha konglomerasi tumbuh mendominasi seluruh kegiatan ekonomi. Sedangakan pada second generation model ditandai dengan pemerintah yang mengambil keputusan melikuidasi 16 bank (sesuai anjuran IMF) pada November 1997. Begitu kebijakan likuidasi dilakukan terjadi penarikan uang nasabah secara besar-besaran (rush) sehingga perbankan mengalami kesulitan likuiditas yang membuat perekonomian semakin terpuruk.

Reformasi Ekonomi Terbalik
Desain reformasi ekonomi yang terjadi di Asia cenderung lewat pendekatan penahapan yang berurutan (gradual tetapi sistematis). Pendekatan ini menitikberatkan kepada strategi “bottom-up” dan menempatkan reformasi pada level mikro ekonomi, seperti reformasi kelembagaan (reformasi di sektor pertanian dan reformasi usaha-usaha industri) dan reformasi harga, mendahului reformasi pada level makro ekonomi (kebijakan fiskal, moneter, dan reformasi perdagangan luar negeri). Sebaliknya, pendekatan yang dilakukan di Eropa Timur cenderung reformasi ekonomi lewat perubahan yang radikal (big-bang approach), seperti perubahan hak kepemilikan, penghapusan kontrol harga, serta liberalisasi nilai tukar dan perdagangan.
Pada studi kasus Indonesia, mempraktikkan reformasi ekonomi terbalik, seperti yang terjadi di Eropa Timur. Pertama, pemerintah mengubah drastis hak kepemilikan sumber daya ekonomi menuju kepemilikan swasta (private property rights). Kedua, kontrol harga dilepas, khususnya komoditas pertanian. Ketiga, liberalisasi secara ekstensif di sektor perdagangan dan investasi asing. Keempat, strategi privatisasi lebih dipilih untuk membangun kultur korporasi dan efisiensi BUMN. Pemerintah meyakini sektor swasta (domestik atau asing) lebih mampu memperbaiki kinerja BUMN yang sedang terpuruk. Ketiga, reformasi pada level mikro perekonomian berjalan secara sehat, yang dirumuskan dalam UU No. 5/1999 tentang “Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”.
Reformasi ekonomi Indonesia dapat dipahami melalui tiga level yang berbeda. Pertama, reformasi ekonomi level makro ketika beberapa sektor ekonomi dideregulasi dan diliberalisasi. Kedua, reformasi ekonomi level mikro, yaitu mendesain manajemen pembangunan ekonomi (politik) yang didesentralisasi yang dikenal dengan istilah otonomi daerah. Hal tersebut karena manajemen sentralisasi dipandang sumber macetnya pembangunan ekonomi. Desentralisasi ekonomi (fiskal) digunakan untuk mencapai setidaknya enam sasaran sebagai berikut: memenuhi aspirasi daerah menyangkut penguasaan atas sumber-sumber keuangan negara, mendorong akuntabilitas dan transparansi pemerintah daerah, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah, mengurangi ketimpangan antardaerah, menjamin terselenggaranya pelayanan publik minimum di setiap daerah, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Banyak kemajuan ekonomi dicapai berkat kebijakan reformasi ekonomi. Keberhasilan yang paling terlihat adalah pencapaian stabilitas makroekonomi.
Terdapat soal ekonomi yang belum dapat dipecahkan, bahkan ada beberapa aspek yang malah tejadi penurunan. Pertama, pertumbuhan yang tinggi bersamaan dengan naiknya ketimpangan pendapatan antarindividu/kelompok maupun antardaerah. Kedua, deregulasi dan liberalisasi yang dianggap akan meningkatkan efisiensi ekonomi, namun efisiensi dan daya saing ekonomi nasional tidak bergerak maju secara proporsional dengan percepatan liberalisasi. Ketiga, akses angkatan kerja masuk ke sektor formal semakin sempit sehingga jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal bertambah dari waktu ke waktu.
Terdapat dua argumen tentang kegagalan sebagian program reformasi ekonomi di Indonesia. Pertama, analisis pilihan dan urutan kebijakan reformasi ekonomi. Kebijakan reformasi antarnegara tidak bisa diseragamkan karena masing-masing karakteristik dan problem ekonomi yang berlainan. Kedua, lemahnya desain dan penegakan kelembagaan (rules of the games) dari kebijakan yang telah dibuat. Pada level makro (institutional environment) berkonsentrasi kepada penyusunan kerangka hukum, ekonomi, dan politik. Sedangkan pada level mikro (institutional arrangement) mendesain aturan main yang memungkinkan semua pelaku ekonomi dapat bersaing (competition) atau bekerja sama (cooperation) secara adil (fair).
Implikasi serius dari kebijakan reformasi ekonomi secara rinci bisa dilihat dalam lima ciri yang disebut cost of economic reform berikut. Pertama, liberalisasi keuangan hanya menjadi instrumen sektor keuangan, tidak menumbuhkan sektor riil. Kedua, petani makin terpuruk karena kontrol harga dilepas sehingga penentu harga adalah pedagang/distributor. Hasilnya, harga komoditas melambung, tapi bagian ekonomi terbesar tidak jatuh ke petani. Ketiga, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh non-tradeable sector yang import content-nya tinggi dan penyerapan tenaga kerjanya rendah. Akibatnya, impor terus bertambah dan sektor informal kian membengkak. Keempat, marginalisasi pelaku ekonomi tradisional dan skala kecil akibat kalah bersaing dengan pelaku ekonomi besar di sektor perdagangan. Kelima, akumulasi kebijakan reformasi ekonomi membuat ketimpangan pendapatan meningkat seiring laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Kerapuhan Kelembagaan Makro
Problem reformasi ekonomi disebabkan oleh ketiadaan kelembagaan atau strategi reformasi kelembagaan (institutional reform). Kelembagaan ekonomi yang baik akan mendorong masyarakat berinvestasi, mengakumulasi modal, dan mengembangkan teknologi baru sehingga masyarakat menjadi lebih sejahtera.
Reformasi kelembagaan merupakan enabling environment yang membuat kebijakan reformasi dapat berjalan seperti yang diharapkan. Terdapat tiga aspek reformasi kelembagaan pada level makro (institutional reform), yaitu kelembagaan reformasi administrasi (administrative reform), sistem hukum (legal system reform), dan politik (political reform).
Spirit reformasi ekonomi adalah pasar menjalankan misi percepatan kegiatan ekonomi dengan basis efisiensi. Reformasi ekonomi menghendaki pemerintahan yang kuat tetapi dengan cakupan ruang lingkup yang terbatas (strong but limited government). World Economic Forum (2012) mengungkapkan penyebab daya saing ekonomi Indonesia yang rendah diakibatkan oleh korupsi dan inefisiensi birokrasi.
Pokok dalam kegiatan ekonomi yang penting adalah kejelasan hak kepemilikan (property rights) dan respek terhadap aturan hukum/rule of the law (termasuk penegakannya/law enforcement) sebagai faktor penentu stabilitas ekonomi, pengembangan pasar modal, pembangunan sektor usaha, dan investasi dalam inovasi.
Kejelasan hak kepemilikan membuat transaksi lebih mudah dilakukan karena masing-masing pelaku ekonomi memiliki kepastian tentang status suatu barang/jasa. Hak kepemilikan dijamin kepastiannya melalui sistem legal untuk mencegah munculnya pelaku ekonomi yang berbuat curang, seperti pencurian, penjiplakan, pembajakan, dan lain-lain.
Investasi yang terjadi di suatu negara bukan hanya fungsidari tingkat suku bunga, ekspektasi ekonomi, ketersediaan infrastruktur, atau pasokan kredit. Dalam tradisi kelembagaan, investasi juga berkaitan dengan seberapa jauh pemerintah (melalui sistem hukumnya) mampu melindungi investor dari praktik-praktik pencurian hak cipta, penjiplakan, pembajakan, dan lain sebagainya. Dalam kasus Indonesia, masalah muncul karena ketidakmampuan sistem legal memproteksi investor dari perilaku menyimpang (opportunism) pelaku ekonomi lainnya.
Makna reformasi politik bukan hanya sekedar secara prosedur sudah mengadopsi unsur-unsur penting dari demokrasi, namun kegiatan ekonomi sudah dideregulasi dan sistem politik telah demokratis yang terjadi bila sistem politik demokratis tersebut dilengkapi dengan aturan main dan norma yang jelas (well-defined rules and norms) sehingga sistem tersebut dapat mengakomodasi aspirasi politik rakyat.
Realitas politik di Indonesia menunjukkan beberapa penyimpangan. Program atau proyek pembangunan sebagian untuk pengelola/pejabat negara atau kerabatnya. Proyek pembangunan itu diberikan kepada political fund managers pemenangan salah satu kontestan pemilu yang menjadi pemimpin. Proyek itu tidak dijalankan sesuai term of reference. Ada anggapan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) terdapat ketidakjelasan pembagian tugas tugas antara politisi dan birokrat. Keduanya memainkan peran dalam proses pembuatan kebijakan sehingga muncul tumpang tindih (overlapped) atas bagian yang mesti dilakukan. Inilah sebagian dari kerapuhan kelembagaan makro yang dijalankan Indonesia selama satu dekade terakhir ini.

Kedangkalan Kelembagaan Mikro
Reformasi ekonomi di Indonesia menghasilkan stabilitas ekonomi yang relatif baik, namun dengan meninggalkan masalah diantaranya kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran. Meskipun dana dan banyak kebijakan ekonomi sudah diproduksi untuk mengatasi masalah kemiskinan, namun penurunan jumlah orang miskin tidak menunjukkan penurunan. Selama 20 tahun, tidak ada kemajuan dalam mengatasi kemiskinan karena presentase penduduk miskin tidak banyak mengalami penurunan. Hal ini karena pemerintah lupa merumuskan kebijakan langsung (direct policies) yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi pengurangan kemiskinan (poverty reduction).
Pertumbuhan ekonomi yang stabil namun terjadi peningkatan ketimpangan pendapatan. Hal tersebut dikarenakan oleh proporsi kenaikan inflasi nyaris sama dengan kenaikan upah minimum. Liberalisasi keuangan hanya instrumen memutar dana tanpa memiliki dampak terhadap kegiatan ekonomi riil (investasi). Perekonomian yang tumbuh hanya berputar pada segelintir pemilik modal/uang dan tidak diimbangi dengan kelembagaan yang mengatur dana tersebut dikelola dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat.
Pengangguran terbuka menunjukkan penurunan tetapi jumlah pekerja yang tergolong setengah menganggur sangat besar. Fenomena ini terjadi karena faktor-faktor berikut: desain insentif yang tidak bekerja di sektor pertanian, mahalnya biaya izin usaha, perilaku rent-seeking dalam promosi sektor ekonomi, akses permodalan yang tidak berjalan maksimal, dan ketiadaan perlindungan hukum terhadap sektor informal.
Tugas penting pemerintah dalam menyelamatkan reformasi ekonomi adalah mendesain kelembagaan mikro yang lebih rinci agar masalah-masalah ekonomi yang pokok dapat teratasi. Tabel berikut memberikan arahan tentang pekerjaan-pekerjaan kelembagaan yang harus diformulasikan dan dijalankan secara serius untuk mengatasi masalah yang ada tersebut.

Reformasi Kelembagaan yang Perlu Dibangun

Level Kelembagaan
Rincian Aturan Main
Hasil yang Diharapkan
Kelembagaan Makro
Reformasi Administrasi
Sistem meritokrasi;
Remunerasi yang layak;
Penerapan reward and punishment;
Peningkatan kompetensi aparat birokrasi.
Sistem birokrasi dan administrasi yang mampu menjalankan kebijakan reformasi ekonomi secara efektif.
Reformasi hukum/legal
Memperkuat independensi;
Remunerasi yang layak;
Penegakan aturan main yang konsisten;
Perlindungan terhadap hak kepemilikan.
Sistem legal yang bisa diakses semua masyarakat, ada kepastian, adil, konsisten, dan cepat.
Reformasi politik
Penguatan checks and balances;
Transparansi proses pengambilan keputusan;
Sirkulasi dan pembagian kekuasaan.
Sistem politik yang bekerja demi memenuhi kebutuhan rakyat, bukan berjalan karena motif-motif keuntungan pribadi (rent-seeking).
Kelembagaan Mikro
Kelembagaan pengurangan kemiskinan
Statuta hubungan antarpelaku ekonomi;
Memangkas dominasi posisi pedagang lokal;
Regulasi penambahan lahan;
Menghidupkan aset yang mati;
Penguatan koperasi serta usaha kecil dan menengah.
Pengurangan kemiskinan secara cepat dan memberi peluang berusaha permanen secara memadai/laik.
Kelembagaan pengurangan ketimpangan pendapatan
Pengendalian harga pangan;
Statuta upah minimum yang layak;
Pengaturan kepemilikan aset produktif;
Kuota kredit ke sektor pertanian dan IBT (luar jawa).
Pemerataan pendapatan, baik antarindividu, antarsektor, maupun antarwilayah.
Kelembagaan pengurangan pengangguran
Peningkatan insentif di sektor pertanian, termasuk merombak kelembagaan distribusi;
Menyederhanakan dan mengurangi biaya izin usaha;
Peningkatan akses modal;
Perlindungan sektor informal.
Pengurangan pengangguran, khususnya akibat penerapan kebijakan yang salah, sehingga tiap orang dapat memaksimalkan kapabilitas individu.
Kelembagaan Sosial
Jaminan kebutuhan dasar
Tunjangan pengangguran, perumahan, dan usia lanjut;
Skema pendidikan dan kesehatan.
Menjamin setiap orang dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak.
Transfer pendapatan
Pajak progesif dan subsidi terfokus (targeted);
Jaminan kerja yang layak.
Memastikan setiap orang memiliki kesempatan kembali masuk ke pasar kerja.


#KUIS

Kesan dan Pemikiran dalam Ekonomi Kelembagaan Terkait dengan Cara Berpikir dalam Melihat Permasalahan Ekonomi Ekonomi kelembagaan meru...